PROPUBLISH.ID, OPINI – Bagi seorang yang baru belajar, mungkin akan berkata bahwa filsafat itu tidak ada manfaat, sulit dan buang-buang waktu, apalagi kalau bahas agama dibawa-bawa ke ranah filsafat. Murtad, sesat dan haram adalah beberapa contoh ucapan dari orang yang belum memahami filsafat secara mendalam, itu juga yang mucul dalam fikran saya sendiri. Saya tidak menafikan bahwa bagi sebagian orang yang pertama kali belajar filsafat, kesan yang didapat terkadang membosankan dan ribet, terutama orang yang belajar filsafat karena ikut-ikutan, melihat orang terdekatnya baca novel Dunia Sophie atau buku-buku filsafat lainnya. Bagi sebagian orang mungkin filsafat itu terlihat keren dan istimewa, namun setelah sedikit berenang di tepian samudra filsafat, mereka takut untuk menyelam, karena mereka berpotensi tenggelam dalam fikiran mereka.
Mereka takut dikatakan murtad oleh orang-orang terdekat mereka. “Ngapain belajar filsafat? Entar malah sesat! Mending belajar agama!”. Kata seperti itu menunjukkan bahwa Mereka menilai tentang sesuatu tanpa pengetahuan seutuhnya tentang sesuatu tersebut. Ibarat orang tenggelam sebelum mencoba berenang,
Kenyataannya, filsafat tidaklah seperti yang mereka gambarkan. Filsafat memiliki sifat sistematis yang membuat mereka kebingungan dan asal menyimpulkan tanpa pengetahuan apapun tentang kebenarannya. Itulah kesalahan mereka karena hanya melihat filsafat dari satu sisi, Lalu, apabila ada pengamatan yang melihat dengan berbagai perspektif, mereka klaim serampangan dan berlebihan. Justru lebih berlebihan bagi mereka yang takut berfilsafat karena alasan agama. Selemah itukah agama yang mereka?
Solusi untuk mengahadapi Stigma Negatif tersebut. Kita harus berpegangan pada pemikiran Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi atau yang lebih akrab dengan sebutan Al-Kindi. Al-Kindi memiliki jasa dalam penerjemahan Filsafat Yunani menjadi Filsafat Islam Klasik. Ia mencoba menggandeng gagasan Plato dan Aristoteles dengan Agama Islam. Dengan demikian, masyarakat memanggilnya sebagai Bapak Filsafat Islam.
Al-Kindi berusaha memadukan (Talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar. Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi.
Menurut al-Kindi, falsafat adalah “ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya”. Justru karena itu, filsafat adalah ilmu yang paling tinggi martabatnya dibandingkan dengan pelbagai ilmu lain yang hanya berminat pada membahas fenomena dan sifat-sifat lahiriah dari sesuatu sasaran kajian. Ilmu-ilmu filsafat, sebagaimana dikutip oleh Ibn Nabatah, oleh al-Kindi di bagi menjadi tiga: Pertama, matematika dalam pengajaran, yang berkedudukan di tengah. Kedua, fisika, yang bersifat paling rendah. Ketiga, ilmu ketuhanan (metafisika) yang bersifat paling tinggi.
Bagian yang paling penting dan tinggi martabatnya adalah ilmu ketuhanan (al-Rububiyah) yang di sebut oleh al-Kindi sebagai al-Falsafat al-Ula (Falsafat Pertama). Sebabnya ialah karena falsafat pertama atau metafisika adalah “ilmu yang membahas tentang Realitas Pertama (‘Ilm al-Haqq al-Awwal)
Salah satu aspek menarik dari filsafat Al-Kindi adalah penekanannya pada rasio dan akal. Ia percaya bahwa akal manusia mampu mencapai kebenaran dan memahami eksistensi Tuhan. Dalam konteks ini, Al-Kindi berusaha menunjukkan bahwa agama dan filsafat tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Pendekatannya ini membuka jalan bagi pemikiran rasional dalam konteks keagamaan, yang sangat penting dalam tradisi intelektual Islam.
Demikia dah pendirian al-Kindi tentang arti dan maksud falsafat, khususnya tentang falsafat pertama. Oleh karena itu, antara falsafat dan agama tidak mungkin timbul perten- tangan, sebab masing-masing keduanya mengandung dalam dirinya kebenaran yang menyakinkan. Pada kebenaran itu- lah agama dan falsafat bertitik temu. Ajaran agama dapat di- pahami oleh akal, sedangkan kebenaran yang diperoleh akal ialah selaras dengan kebenaran yang di bawa agama. Al-Kindi berpendapat bahwa para nabi telah memerintahkan untuk mencari kebenaran, seperti tentang kemahaesaan Tuhan, dan berbuat kebajikan, seperti setia melakukan kebajikan yang diridhai-Nya dan menolak kekejian yang bertentangan dengan ridha-Nya.
Selanjutnya al-Kindi menandaskan bahwa orang yang menolak pencarian kebenaran dan menganggapnya sebagai kekafiran adalah dia sendiri yang seharusnya dikatakan kafir, karena pengetahuan tentang kebenaran mencakup pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal yang sebaliknya.
Al-Kindi juga berkontribusi pada berbagai disiplin ilmu, termasuk metafisika, epistemologi, dan etika. Karyanya tentang teori pengetahuan menyoroti pentingnya pengalaman dan pengamatan dalam memperoleh pengetahuan, yang menjadi landasan bagi pemikiran ilmiah di kemudian hari.
Namun, meski pemikirannya sangat berpengaruh, kadang-kadang Al-Kindi dihadapkan pada kritik dari kalangan yang lebih skeptis terhadap penggunaan akal dalam memahami agama. Meski begitu, warisan filsafatnya tetap relevan, menunjukkan bahwa intelektualitas dan spiritualitas dapat berjalan beriringan.
Secara keseluruhan, filsafat Al-Kindi menciptakan ruang untuk dialog antara akal dan iman, memperkaya tradisi pemikiran Islam dan memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan filsafat secara umum.
Selain Al-kindi, banyak filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina berupaya mengharmoniskan antara akal dan wahyu. Mereka meyakini bahwa keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Dengan demikian, mereka berargumen bahwa kebenaran yang ditemukan melalui akal tidak akan bertentangan dengan kebenaran wahyu. Ini menciptakan ruang bagi dialog antara rasionalitas dan iman.
Selanjutnya, para filsuf juga mengakui keterbatasan akal. Misalnya, Al-Ghazali mengemukakan bahwa ada hal-hal tertentu, terutama yang berkaitan dengan metafisika dan teologi, yang tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh akal manusia. Dalam hal ini, wahyu berfungsi sebagai sumber pengetahuan yang lebih tinggi, memberikan pencerahan di mana akal tidak mampu menjangkau.
Metode dialektika juga menjadi salah satu alat penting dalam filsafat Islam. Para filsuf menggunakan argumen rasional untuk mempertahankan dan menjelaskan ajaran agama. Dengan cara ini, mereka tidak hanya mempertanyakan ajaran, tetapi juga mencari jawaban yang koheren dan logis, sehingga menciptakan pemahaman yang lebih mendalam.
Selain itu, studi dan interpretasi teks-teks suci dengan pendekatan kritis juga membantu menjembatani akal dan wahyu. Para filsuf berupaya memahami makna yang lebih dalam dari wahyu dengan mempertimbangkan konteks sejarah dan linguistik, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif.
filsafat Islam tidak hidup dalam isolasi. Para filsuf Muslim sering berinteraksi dengan tradisi filsafat lain, seperti pemikiran Yunani dan Hinduisme. Melalui dialog ini, mereka memperkaya perspektif mereka dan menemukan cara baru untuk mengintegrasikan ide-ide dari tradisi lain dengan ajaran Islam.
Dengan berbagai pendekatan ini, filsafat Islam menunjukkan bahwa akal dan wahyu bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua jalan yang dapat saling melengkapi dalam pencarian kebenaran.
filsafat adalah dasar dari semua disiplin ilmu. Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki akar filsafat yang mendalam. Misalnya, sains diperkenalkan pada pertanyaan filosofis tentang alam dan eksistensi. Metodologi ilmiah pun dihasilkan dari pemikiran kritis yang ditulis oleh filsafat. Tanpa filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita nikmati saat ini tidak akan ada. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang sesat, melainkan landasan dari pengetahuan yang kita miliki.
Filsafat juga berperan dalam membangun nilai-nilai moral. Pertanyaan tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk, tidak bisa dijawab dengan sederhana. Filsafat memberikan kerangka untuk membahas etika dan moralitas, membantu kita memahami tindakan kita dan dampaknya terhadap orang lain.
Selain itu, filsafat dapat membantu menciptakan dialog yang positif antara individu dengan pandangan yang berbeda. Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, filsafat mengajarkan kita untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan orang lain. Dengan pendekatan dialogis yang diajarkan oleh para filsuf, kita dapat belajar untuk menghargai perbedaan dan menemukan titik temu.
filsafat juga menyentuh aspek spiritual dan eksistensial yang mendalam. Banyak pemikir besar, seperti Socrates, Plato, dan Nietzsche, telah mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang kehadiran kita di dunia ini dan bagaimana kita dapat hidup secara orisinil. Melalui pemikiran filosofis, kita dapat menemukan cara untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan, serta membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang diri kita dan hubungan kita dengan orang lain
Secara keseluruhan, filsafat tidak sesat. Sebaliknya, ia adalah sebuah pencarian yang terus menerus untuk memahami, menjelaskan kehidupan, dan menemukan makna. Dalam dunia yang kompleks dan sering kali membingungkan ini, filsafat adalah cahaya yang dapat memandu kita, membantu kita tidak hanya memahami dunia, tetapi juga menemukan tempat kita di dalamnya.
Sebagai penutup, filsafat bukanlah sesuatu yang sesat, melainkan suatu usaha mulia untuk memahami kompleksitas kehidupan, moralitas, dan eksistensi. Filsafat mengajak kita untuk berpikir kritis, mempertanyakan asumsi yang kita pegang, dan mencari kebenaran melalui dialog dan refleksi. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan kebingungan dan informasi yang bertentangan, filsafat memberikan alat untuk menavigasi realitas dengan lebih bijaksana. filsafat harus dihargai sebagai pilar penting dalam pencarian makna dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita dan dunia di sekitar kita.
***
*) Artikel Opini Ditulis Oleh Nurul Yakin, Mahasiwa Stit Al-Ibrohimy Bangkalan.
*) Tulisan artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab Media Propublish.id.
*) Rubrik terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.